Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lumajang menyoroti ulah sejumlah restoran atau rumah makan dan hotel di Lumajang yang berusaha ngemplang atau tidak mau bayar pajak. Mereka perlu diberi sanksi tegas, dan jika terus membandel harus dihentikan operasionalnya. Sorotan keras itu dikemukakan Achmad Faruq Chotibi, SH, Sekretaris Komisi C DPRD Kabupaten Lumajang saat dialog interaktif (talkshow) di Radio Semeru FM beberapa pekan lalu. Ia menyayangkan sejumlah restoran atau rumah makan yang punya nama besar di Lumajang justru berusaha berkelit bayar pajak dengan berbagai modus tertentu. Padahal, rumah makan atau restauran tersebut kerap menjadi langganan pesanan para pejabat pemerintah daerah, termasuk bupati. Pada sisi lain, Lora Faruq, panggilan akrabnya, juga mempertanyakan kinerja pemerintah, dalam hal ini Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD), dalam menangani penerimaan pajak hotel dan restoran. Misalnya pada tahun 2019 target dari sektor ini masih belum terpenuhi dengan optimal. "Pemerintah seharusnya peka kepada para pengusaha mokong yang bergerak di bidang perhotelan dan restoran. Pelanggaran yang mereka lakukan sudah kasat mata. Ini tidak bisa dibiarkan, harus ada ketegasan dari pemerintah,” ungkapnya. Faruq menilai, kinerja BPRD kurang tegas sehingga hal ini dimanfaatkan pengusaha untuk melancarkan aksi mokongnya itu. Aksi pengusaha nakal tersebut baru terkuak setelah Dewan dalam hal ini Komisi C, melakukan inspeksi mendadak (Sidak) dan menemukan banyak pelangaran, “Masak di salah satu restoran sekelas bintang empat, malah menggunakan dua computer untuk ngibuli pemerintah, ini sudah sangat keterlaluan,” imbuhnya. Lebih miris lagi, restoran tersebut membayar pajak ke pemerintah daerah tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima. Padahal pajak 10% yang diwajibkan itu sudah dibayar lunas oleh para pembeli. “Bayangkan, tidak ada 10% pajak yang dibayarkan restoran tersebut kepada pemerintah. Ada apa ini, padahal pajak 10% itu wajib,” tegasnya. Diakui ketika Bupati Lumajang H. Thoriqul Haq menyerukan agar restoran menggunakan electronik Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (e-SPTPD) pada awal tahun 2019, pembayaran pajaknya berjalan dengan lancar. Namun belakangan bertolak belakang. Ditambah lagi, banyak dari pemilik restoran yang sengaja mencopot alat perekam traksaksi atau tapping box yang dipasang sendiri oleh Bupati, untuk menghindari bayar pajak. “Ini yang paling miris, tapping box itu dipasang sendiri oleh Bupati, kok malah di copot,” ungkapnya dengan nada geram. Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lumajang ini kembali menegaskan, peran BPRD harus tegas untuk menangani persoalan. Seperti diketahui pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan merupakan jenis pajak daerah yang pemungutannya dilaksanakan secara self assessment, dimana Wajib Pajak (WP) aktif dalam melaksanakan kewajiban pajaknya, mulai dari menghitung pajak sendiri, melaporkan pajak terutang dan membayar pajak. e-SPTPD dari WP disampaikan kepada OPD yang ditunjuk paling lambat 10 hari setelah masa pajak berakhir. Inovasi e-SPTPD dan tapping box pada awalnya diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan di Lumajang. Namun pada proses perjalananya, hal tersebut bertolak belakang. Target pemungutan pajak dari hotel, sebesar 1 miliar rupiah pertahun, sedangkan restoran dan catering ditargetkan sebesar 5,75 milyar rupiah per tahun, tidak terpenuhi dengan optimal. Dalam Talkshow yang dipandu oleh Hariyanto, S.Pd ini, cukup banyak respon dari para pendengar dan juga fans dari Radio Semeru FM yang disampaikan baik melalui telpon, WA maupun facebook. (YONI)
0 Komentar