Implementasi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Pembiayaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Lumajang, masih menuai banyak kendala, khususnya terkait dengan proses administrasi yang panjang dan rumit. Hal ini menjadi sorotan Dewan, ketika melaksanakan Sidang Paripurna yang membahas Rekomendasi DPRD Kabupaten Lumajang terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Tahun 2019, yang berlangsung pada Selasa (28/4) siang, di Gedung DPRD Lumajang, di Kawasan Wonorejo Terpadu (KWT). Sidang Paripurna ini dipimpin Wakil Ketua DPRD dari PPP, H. Akhmat, ST. Adapun yang membacakan rekomendasi tersebut secara bergantian dimulai dari H. Bukasan, S.Pd, M.M (Wakil Ketua DPRD dari PDI Perjuangan), berlanjut ke Oktaviani, SH (Wakil Ketua DPRD dari Gerindra), dan diakhiri oleh H. Anang Akhmad Syaifuddin, S.Ag (Ketua DPRD dari PKB). Dewan menilai, akses pada program Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), kemudian bantuan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat miskin non kuota, masih kental dengan nuansa ‘kapitalis’ karena kurang berpihak kepada masyarakat ‘proletar’ atau kaum marhenis atau golongan wong cilik. Implementasi Perbup itu, masih mengalami banyak kendala. “Khususnya terkait dengan proses administrasi yang panjang dan rumit,” kata Wakil Ketua DPRD Lumajang H. Bukasan, S.Pd. M.M., saat membacakan Rekomendasi DPRD Kabupaten Lumajang. Contohnya, keluarga pasien masih harus bernegosiasi dengan pihak rumah sakit dan Kepala Dinas Kesehatan, hanya untuk mendapatkan rekomendasi. “Bagi masyarakat yang tidak mampu, menghadapi birokrasi yang rumit dalam keadaan terkena musibah yaitu sakit, tentunya bukan hal yang mudah,” tegasnya. Menyikapi persoalan itu, Dewan meminta pemerintah daerah segera merubah Perbub Nomor 17 Tahun 2019. Solusi yang perlu diterapkan adalah penyederhaan prosedur layanan fasilitas berobat gratis menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). "Jika pelayanan yang diperoleh hanyalah kelas 3, maka cukup dengan menunjukan KTP dan SKTM, sudah bisa mendapatkan pelayanan gratis". Dewan juga menyoroti layanan himodialisa (HD) atau cuci darah di RSUD dr. Haryoto Lumajang. Pelayanan yang dilakukan masih belum optimal, tenaga dokter konsultan, perawat khusus HD serta sarana prasarana medis di rumah sakit ini, masih kurang memadai. Hal ini berdampak pada banyaknya pasien HD yang harus melakukan HD di luar daerah, terutama Jember. Dalam kondisi seperti ini, tentunya membebani dan menimbulkan resiko besar, akibat perjalanan yang cukup jauh itu, bisa berakibat fatal. Di sisi lain, aspek ekonomi pelayanan kesehatan yang seharusnya dapat masuk penerimaan daerah, menjadi hilang. Dalam menghadapi persaingan bebas, rumah sakit dituntut dapat memberikan pelayanan yang baik, efisien, efektif dan tarifnya sesuai. Pelayanan cuci darah adalah salah satu layanan yang cukup mahal, karena sangat dipengaruhi oleh harga medical supply, obat dan bahan habis pakai. Sementara untuk RSUD Pasirian, Dewan juga menyoroti soal pelayanan himodialisa atau cuci darah. Seharusnya RSUD Pasirian, membuka pelayanan himodialisa, guna mengatasi kasus overload pelayanan serupa yang ada di RSUD dr. Haryoto Lumajang. Terhadap masalah ini, pemerintah perlu melakukan prioritas program dan anggaran peningkatan sarana dan prasarana layanan HD di RSUD Pasirian. Prosedur layanan bagi masyarakat tidak mampu, juga perlu dipersingkat, dengan melakukan pemotongan jalur birokrasi dan tindakan proaktif dari pihak RSUD. Langkah ini akan mempermudah akses layanan bagi warga yang tidak mampu. Pada kesempatan itu, Dewan juga menyoroti bidang kesehatan lain, seperti performance kantor Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA), kemudian penataan manajemen Balai Kesehatan Olah Raga dan Pusat Informasi Pencegahan Penyakit Metabolik (BKOR-PIPPM). Selama ini, pelayanan pada dua sektor ini, masih belum memadai. Untuk itu Dewan meminta, LABKESDA dan BKOR-PIPPM mulai berinovasi dengan memilih metode pemasaran yang tepat, untuk meningkatkan mutu pelayanan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Ditambah lagi sumber daya manusia (SDM) khususnya petugas administrasi dan pemeriksa, perlu ditingkatkan dengan pendidikan dan pelatihan secara berkala, mengikuti perkembangan di bidang kesehatan. Pada bagian lain, Dewan juga menyoroti soal pendidikan terutama soal rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lumajang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, IPM Lumajang hanya 64.8 dengan harapan Lama Sekolah (LS) 11.7, rata-Rata Lama Sekolah (RLS) 6,21. Sedangkan angka Harapan Hidup (HH) 69,7. Dari data di atas yang patut mendapat sorotan pemerintah adalah, masih rendahnya rata-rata lama sekolah yakni 6,21. Sehingga pemerintah perlu menerapkan kebijakan preventif, agar anak tidak sampai putus sekolah, dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui advokasi dan pemberian bantuan dana. Dinas Pendidikan diharapkan bisa tangap dengan merangkul semua lini, untuk mengatasi persoalan tersebut, dengan cara mendata anak yang terancam putus sekolah dan segera menanganinya. Selain itu, pemerintah perlu memberikan fasilitas kepada warga yang memiliki semangat tinggi untuk belajar. Dengan memberikan fasilitas pelayanan Kejar Paket A, B, C atau setara dengan tingkat SD, SMP atau SMA. Kebijakan lain yang perlu ditempuh adalah, pemberian bantuan dana berupa beasiswa pendidikan bagi masyarakat miskin. Disisi lain Dewan juga menyoroti masalah pelaksana tugas (Plt). Dalam pengawasan dewan, Kepala Dinas Pendidikan masih sering dijabat Plt. Padahal posisi Kepala Dinas Pendidikan, merupakan urusan wajib yang fundamental, karena menyangkut masa depan generasi daerah. Penyelenggaraan urusan tidak boleh dilakukan secara sampingan, mengingat status pejabat Plt merupakan pejabat yang definitif pada suatu jabatan lain. Problem selanjutnya secara hukum, PNS yang ditunjuk sebagai Plt, tidak diberi tunjangan struktural. Hal ini bisa berakibat pada kurangnya pelayanan. Sehingga Dewan meminta keseriusan Bupati tanpa ragu, mengangkat Kepala Dinas Pendidikan yang definitif, bukan Plt. Pada kesempatan itu Dewan juga menyoroti kurangnya tenaga pendidik, baik guru kelas maupun guru mata pelajaran, kemudian inovasi perekrutan tenaga pendidik, belum terpasangnya nameboard dana BOS, kerusakan ruang belajar, kepastian hukum aset pendidikan, kesejahteraan pendidik dan tenaga pendidikan, juga menjadi perhatian dewan. (YONI)
0 Komentar