Kegiatan bagi-bagi beras dalam program "Ngeramut Tonggo" yang
diluncurkan Bupati Lumajang Thoriqul Haq usai merangseknya pandemi
Covid-19 di Lumajang pada Maret lalu, memunculkan sosok akfivis relawan
sosial: Farida Susanti. Koordinator Relawan Serangga itu bersama
pasukannya hampir setiap hari keliling dari pintu ke pintu untuk ikut
membagikan beras kepada warga tidak mampu yang terdampak virus corona.
Sebelum terjun sebagai penggerak relawan sosial, Yayuk sudah lama
dikenal sebagai guru, penari, pemain film, dan salah satu pendiri Gatra.
Ia memang sosok wanita multi talenta. Karena itu Radio Semeru FM
tertarik menghadirkannya sebagai bintang tamu di acara Bincang Bincang
Santuy (BBS), sebuah program acara talkshow Radio Semeru FM yang
senantiasa menghadirkan sosok inspiratif Lumajang. Ia hadir di Studio
Semeru FM pada BBS edisi Minggu (26/7) malam.
Ia memiliki
nama lengkap Diana Wahyuning Yayuk Farida Susanti. Dikenal dengan
sebutan mbak Farida atau mbak Yayuk. Fery Sinaro, presenter kece Radio
Semeru FM yang mengasuh acara BBS tersebut, mengawali interview dengan
ungkapan rasa kagumnya kepada Farida yang disanjungnya sebagai seorang
yang penuh aktivitas. “Basicnya memang seneng kumpul ya?,” tanya Fery.
“Basicnya sih seneng bergerak aja, kalau terlalu banyak diem jadinya gak
sehat,” jawab Farida.
USIA 3 TAHUN MULAI MAIN LUDRUK
Farida mengaku jiwa seninya merupakan turunan dari orang tuanya.
“Orang tua sebenarnya tidak seniman-seniman banget sih, tapi kebetulan
ibu saya dulu punya kelompok seni ludruk,” ujar Farida yang mengaku
mendapat support dari kedua orang tuanya dalam berkesenian.
Uniknya Farida ini pada waktu kecil sudah pernah menjadi pemeran di
ludruk (Kesenian drama tradisional asal Jawa Timur). Waktu itu ia
berusia 3 tahun pernah dilibatkan dalam adegan dagelan dengan tema
‘Layangan Pedot’. Ia berperan sebagai layang-layang putus yang bergerak
lari kesana kemari.
“Saya lupa di mana lokasinya saat itu karena
pindah-pindah tempat,” kenangnya. Kelompok ludruk pada zaman itu memang
sering tampil di beberapa tempat sehingga crew termasuk pemain gamelan
dan pemeran (aktor dan aktris) menjadi satu komunitas yang tinggal
bersama dalam satu tobong (tempat pertunjukan yang sifatnya darurat
biasanya terbuat dari sesek atau pagar anyaman bambu).
Karena
sering berpindah tempat inilah yang berakibat terbengkelainya pendidikan
Farida. “Sekolah saya keteteran,” ujar Farida yang mengaku sering
diajak ibunya jika main ludruk. Namun beruntung Farida ini tidak selalu
tinggal di tobong sehinga sekolahnya masih terselamatkan meskipun pernah
harus mengulang saat duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu ia pernah
tidak masuk sekolah selama 1 semester akibat dari mengikuti ibunya.
Farida menjelaskan jika komunitas ludruknya adalah keluarga besarnya
yang terdiri dari saudara-saudaranya.
Soal pindah-pindah
tempat, Farida justru mengaku bukan karena ikut dalam komunitas tobong
ludruk tapi karena mengikuti tugas ayahnya yang seorang mantri pasar,
sehingga tiap 5 tahun pindah tempat tinggal mulai Pronojiwo, Klakah dan
terakhir menetap di kota Lumajang.
MAHIR TARI BONDAN DAN REMO
Waktu di jenjang pendidikan TK, Farida pernah mahir menarikan Tari
Bondan, yakni tarian yang dilakukan di atas kendi. “Ibu saya agak
keras kalau melatih sehingga harus sampai bisa,” ujarnya sambil
menyebutkan bahwa saat berlatih ia telah memecahkan beberapa kendi
karena saat itu masih belum mahir berputar-putar di atas kendi. Tari
Bondan ini membutuhkan keseimbangan sehingga saat atraksi tidak boleh
jatuh atau kendinya pecah.
Keahlian menarinya ini membuat
Farida kecil sering tampil di beberapa panggung seperti saat event
Agustusan atau pada saat diundang tampil dalam panggung hajatan.
“Keahlian saya adalah menari remo karena basic keluarga saya adalah
ludruk,” ujarnya.
Saat kecil ia mengaku ikut beberapa
kompetisi menari remo, namun tidak mendapat kejuaran karena tidak bisa
‘nggandang’. Nggandang adalah melantunkan syairan lagu Jawa di tengah-
tengah tarian remo. “Saya jatuhnya pasti di nggandang, sebagus apapun
saya menari jatuhnya pasti di situ karena saya nggak bisa nyanyi,”
ujarnya sambil tertawa.
INSPIRASI DARI RIWAYATI: BERBAGI DENGAN ORANG LAIN
Tentang menari remo ini Farida memiliki kenangan yang tidak akan
terlupakan. Sebuah kisah persahabatan yang kelak akan mewarnai dan
menginspirasi hidupnya. Ia menceriterakan seorang sahabatnya kala duduk
di bangku SPGN (Sekolah Pendidikan Guru Negeri, sekolah setara dengan
SMA, sekolahan tersebut kini menjadi SMA Negeri 3 Lumajang) yang bernama
Riwayati, putri seorang kampung (perangkat desa) di Jatiroto. Riwayati
ini jago dalam tari remo termasuk jago nggandang. Setiap kompetisi
Farida selalu kalah dengan Riwayati. “Saya tidak pernah bisa menjadi
juara pertama kalau sahabat saya ini ikut dalam kompetisi,” ujarnya
tertawa.
Suatu saat sahabatnya ini mengalah dalam satu event
kompetisi menari di Alun-alun Lumajang. Sang sahabat mengatakan bahwa ia
kali ini tidak ikut dalam kompetisi agar Farida menjadi jawara dalam
kompetisi tersebut. Sambil matanya berkaca-kaca, Farida mengenang
sahabatnya yang mensuport dengan membantu merias hingga mendampingi agar
Farida menjadi juara.
Kenangan itu tidak bisa dilupakan karena
itu adalah sebuah hadiah persahabatan tulus dari seorang Riwayati yang
ternyata tidak lama setelah itu Riwayati tersebut meninggal dunia saat
duduk di bangku kelas II SPGN Lumajang.
“Saya ditakdirkan tidak
bisa mengalahkan sahabat saya itu,” ujar Farida yang mengaku ternyata
saat itu ia juga tidak bisa mengikuti kompetisi tersebut karena terjatuh
dari motor saat berangkat ke Alun-alun tempat kompetisi berlangsung.
“Saya baru bisa naik motor saat itu,” sambungnya.
Apapun yang
terjadi, Farida mengaku tidak bisa melupakan itu semua dan ketulusan
hati sahabanya itu menjadi inspirasi dalam hidupnya. “Terinspirasi dari
itu, saya hingga kini bertekad untuk selalu berbagi dengan orang lain,”
tegasnya.
Pernyataan Farida ini dibuktikan dengan aktivitasnya
dalam setiap kegiatan sosial seperti menjadi koordinator komunitas
Relawan Serangga yang telah banyak melakukan kegiatan sosial di
Lumajang, termasuk juga terlibat di komunitas relawan kebencanaan
Lumajang 247 bentukan BPBD Lumajang.
Farida yang kini juga
adalah seorang penulis mengaku menyesal tidak menulis kisah
persahabatannya tersebut dalam sebuah buku. Namun demikian ia mengaku
punya catatan-catatan kecil dalam buku diarynya, sayangnya catatan itu
juga banyak yang hilang.
KETUA SANGGAR SENI TARI IKIP MALANG
Zaman dulu mereka yang sekolah di SPG disiapkan untuk menjadi guru
SD sehingga pelajarannya pun berbeda dengan pelajaran di SMA, seperti
pedagogik dan metodik pengajaran yang merupakan ilmu terapan bagaiman
cara mengajar yang wajib dimiliki seorang guru.
Lulusan SPG
kebanyakan tidak disiapkan untuk melanjutkan kuliah sehingga banyak mata
pelajaran yang tentu tidak disiapkan untuk berkompetisi memasuki
perguruan tinggi tetapi lebih untuk diaplikasikan dalam tugasnya kelak
jika menjadi seorang guru. Meski demikian, Farida tetap berkeinginan
untuk melanjutkan studinya itu kejenjang lebih tinggi.
“Saat
itu kesempatan untuk menjadi guru SD peluangnya besar untuk menjadi PNS,
namun saya merasa masih terlalu kecil untuk menjadi seorang guru
sehingga saya tetap berkeinginan melanjutkan ke perguruan tinggi,”
ujarnya. Akibatnya Farida mengaku bingung ketika ada teman-temannya SMA
yang belajar matematika untuk mempersiapkan diri ujian ke perguruan
tinggi negeri.
“Saya tidak paham sinus, cosinus, tangen, apa
pula istilah itu sementara teman teman menghafalkan rumus-rumus itu,”
ujarnya disambut tawa Fery Sinaro yang mengaku terkenang kembali dengan
istilah-istilah tersebut setelah lama tidak mendengar istilah itu dan
kini disebut kembali oleh Farida.
Farida mengaku dapat izin
dari ayahnya untuk melanjutkan studinya asal masuk di perguruan tinggi
negeri. “Alhamdulillah satu mukjizat ketika saya diterima di IKIP Negeri
Malang,” ujar Farida mengingat perjuanganya belajar kembali agar bisa
setara dengan teman-teman SMA untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri.
“Waktu itu pengumuman penerimaan diinformsikan di koran Jawa Pos,
tidak seperti sekarang bisa dengan mudah melihat lewat media sosial atau
lainnya,” ujar Farida yang punya kenangan saat melihat pengumuman di
koran. Waktu itu Farida ke toko Sinar Ilmu membeli koran dan membacanya
di depan toko tersebut.
Dari ratusan nama ada satu nama yang
membuatnya bangga yakni nama Diana Wahyuning Yayuk Farida Susanti
terpampang di sana namun itu masih belum yakin karena bisa jadi ada nama
yang sama dengan nama dirinya. Setelah dilihat tanggal lahir dan nomor
ujian barulah kegembiran itu menjadi nyata karena jelas sekali bahwa itu
adalah namanya dan cocok dengan data miliknya. “Apakah koran itu masih
disimpan?,” tanya Fery Sinaro, “Enggak,” jawab Farida singkat sambil
tertawa.
Di IKIP Negeri Malang ini Farida Susanti aktif
berkesenian terutama di seni tari bahkan ia mengaku menjadi Jetua
Sanggar Seni Tari di IKIP tersebut.
Saat kuliah ini Farida
juga banyak mengikuti kompetisi tari di beberapa daerah seperti festival
tari di Jogja, Festival tari di Bali dan juga setiap event di kampusnya
Farida mengaku selalu tampil dan terlibat berkesenian di dalamnya.
Jika dulu masa kecilnya hingga remaja Farida dikenal sebagai penari
remo, namun saat di perguruan tinggi predikat yang disandangkan
teman-temannya berbeda, tidak lagi dikenal sebagai penari remo tetapi
sebagai penari jaipong. Sebuah tarian dari Bandung yang dikenal dengan
keluwesan gerak pinggulnya ini telah didalami oleh Farida sehingga ia
sangat paham dengan tarian ini. “Ada kesalahan kecil pada iringan
kendang pun saya otomatis tahu,” ujarnya menggambarkan betapa
mendalamnya ia mempelajari tari jaipong tersebut.
LULUS KULIAH LANGSUNG MENIKAH
Bulan Februari tahun 1991 adalah bulan kenangan bagi Farida
Susanti. Betapa tidak, pada bulan itu dia mendapat dua buah sertifikat
yang menandai kelulusannya baik dalam dunia pendidikan maupun dunia
hidupnya yang baru.
Ini menjadi kenangan tersendiri, terbukti
Farida dengan lancarnya menyebutkan tanggal dan bulannya ia lulus. “17
Februari 1991 saya mendapat ijazah S1 dari IKIP Negeri Malang,” ujarnya.
Kemudian Fery Sinaro menanti penasaran dengan sertifikat selanjutnya
yang diperoleh Farida Susanti.
“Tanggal berikutnya, yakni pada
tanggal 23 Februari1991 saya juga mendapatkan sertifikat, (berhenti
sejenak)… sertifikat nikah,” ujar Farida yang langsung disambut tawa
Fery Sinaro. “Saya kaget lho, saya pikir akta pendidikan apalagi gitu
lho,” ujar Fery sambil tertawa.
Selisih sepekan dari
kelulusannya Farida langsung nikah dengan teman studinya di IKIP Negeri
Malang, yakni Syaiful Hadi. “Kakak setingkat dari fakultas yang beda,”
ujarnya.
Setelah menikah ini, Farida kemudian hijrah ikut
suami ke kampung halamannya di Desa Sumberejo, Kecamatan Wuluhan
Kabupaten Jember.
Selama itulah Farida harus menjadi ibu rumah
tangga sehingga tidak bisa berkesenian secara personal meski sebenarnya
diberi ruang oleh sang suami. Di desa ini Farida mengaku tidak bisa
menyalurkan hasrat berkeseniannya karena desa tersebut kebanyakan adalah
petani yang religius. Jangankan menari, berpakaian pun harus
menyesuikan dengan lingkungan yang religius tersebut.
MENYALURKAN HASRAT BERKESENIAN
Karena jiwa seninya, Farida mengaku tidak bisa tinggal diam jika
ada kesempatan untuk tampil, sehingga setiap ada event yang
diselenggarakan oleh perusahaan asuransi tempat suaminya bekerja, Farida
selalu mengajak teman-temannya di lingkungan pekerjaan suaminya itu
untuk tampil menari. Hanya di tempat itulah Farida bisa berkreasi
menyalurkan bakatnya menari.
Karena kesempatan untuk berkreasi
jarang didapat, maka setiap event Farida selalu ingin tampil bahkan
saat hamil tua ia pernah tampil menari remo di acara ulang tahun
perusahaan tempat suaminya bekerja. “Di kehamilan anak saya pertama,
tahun 92 saya memaksa tampil meski dengan perut besar,” kenangnya.
Sejak memiliki anak hingga 3 orang anak, Farida fakum dari
berkesenian. Saat usia anak-anaknya masih kecil Farida mengaku lebih
serius dan fokus untuk merawat anak-anaknya sehingga ia sedikit
merelakan menahan hasratnya berkesenian.
Farida Susanti yang
sebelumnya harus puas menjadi seorang ibu rumah tangga, kini mulai
berfikir tentang karir sehingga tahun 1999 ia kembali hijrah ke
Lumajang. Pada tahun 2003 Farida dan keluarga pindah ke Pasirian.
Setelah anaknya yang terkecil mulai sekolah TK, Farida mengatakan
banyak memiliki waktu luang sehingga sekitar tahun 2003, Farida
bergabung dengan sanggar tari Sekar Arum. “Saya dipercaya untuk melatih
anak-anak menari di sanggarnya mbak Heny,” ujarnya.
Saat itu
Farida tergerak juga untuk mendirikan sanggar modeling karena ia juga
memiliki keahlian di bidang itu. “Alhamdulillah murid saya ada 40 anak
mulai dari TK hingga SLTA dan saya bekerja sama dengan bapak Sandy
Dhamara karena kebetulan anak-anak saya juga muridnya pak Sandy,” ujar
Farida sambil menyebut nama Sandy Dhamara seorang pendiri sekolah model
‘KS Model School’ Lumajang. Sanggar yang didirikan Farida ini tempatnya
masih menumpang di sanggar Sekar Arum.
PUTRI KEBAYA LUMAJANG
Naluri untuk berbagi dan mentrasfer ilmu pengetahuan kembali
mencuat pada diri Farida, sehingga pada tahun 2005 mencoba keberuntungan
dengan mengajar di sebuah Sekolah Dasar, yakni di SD Bades 2 Pasirian.
Kesibukannya mengajar dan bertemu dengan anak-anak didiknya membuat
Farida semakin aktif dalam berkegiatan.
Sebuah predikat sebagai
Putri Kebaya disematkan kepada Farida Susanti. Pada tahun 2010 di
Lumajang ada lomba Putri Kebaya. Saat itu masing-masing kecamatan
diwajibkan mengirimkankan dua orang wakilnya dan Farida menjadi salah
seorang di antaranya. Lomba ini tidak hanya menampilkan keluwesan
peserta dalam mengenakan kebaya dan berlenggak lenggok di catwalk,
tetapi juga diuji wawasannya.
“Kebetulan saat diundi saya
mendapat pertanyaan soal pariwisata di Lumajang dan kelebihannya masing
masing obyek wisata tersebut. Karena saya suka mbolang maka saya paham
betul dengan obyek wisata di Lumajang sehingga pertanyaan itu kecil bagi
saya,” ujarnya bangga. “Alhamdulillah saya tidak menyangka bisa menjadi
jawara dengan menyisihkan peserta wakil dari 20 kecamatan, dan saya
jawara di kategori usia 30 hingga 45 tahun,” sambungnya.
Dengan
desain kebaya jadul karyanya sendiri akhirnya Farida menjadi jawara dan
menyandang predikat sebagai Putri Kebaya tahun 2010. “Alhamdulillah
saya soal fashion sudah paham dan saya percaya diri,” ujarnya.
LEBIH BINAL BERKREASI USAI PISAH DARI SUAMI
Farida susanti mengaku sekarang lebih binal. Lebih binal? Mengapa
kata itu muncul? Ini dipertanyakan oleh Fery Sinaro yang kian penasaran
dengan yang diungkap Farida Susanti. “Saya menjadi lebih binal tidak
terkendali untuk mengeksplore seluruh apa yang ada pada diri saya pada
saat Allah sudah tidak menjodohkan saya dengan suami saya,” terang
Farida. “Tahun berapa ya berpisah dengan suami kalau boleh tahu,” tanya
Fery Sinaro. “Tahun 2013,” jawab Farida singkat.
Tahun 2013 ini
menjadi awal baru bagi Farida untuk hidup tanpa seorang suami dan ia
pun pindah kembali ke kota Lumajang, tepatnya di Jalan Barito No.5.
Namun aktivitasnya saat itu masih banyak di Pasirian. Sejak saat itu
Farida mulai ‘kencak’ dengan aktivitas berkeseniannya, mulai dari
mengajar tari, modeling dan banyak kegiatan kesenian yang ia tekuni.
Farida pernah menggerakkan guru-guru honorer di wilayah Kecamatan
Pasirian untuk memeriahkan hari ulang tahun PGRI dengan menampilkan
sendra tari kolosal. “Saat itu dipandang sebelah mata karena saya
mengajak guru sukwan yang notabene bukan penari, apalagi banyak
anggapan menggerakkan orang Pasirian itu sulit,” ujarnya. Namun karena
tekadnya yang luar biasa dan atas semangat guru-guru sukwan (sukarelawan
atau non PNS), akhirnya sekitar 40 orang guru sukwan putra dan putri
tersebut mampu menampilkan tarian yang luar biasa.
Farida yang
dikenal dekat dengan guru-guru sukwan ini merasa tidak kesulitan dalam
merekrut mereka untuk ikut terlibat dalam tarian masal tersebut. “Saya
motivasi dengan mengatakan bahwa kita ini dipandang sebelah mata, kita
ini dianggap tidak bisa ayo kita tunjukkan bahwa kita bisa ,” ujarnya.
Farida dan teman-temannya pun berhasil memberikan sebuah
penampilan yang luar biasa dengan tema tarian perjuangan emansipasi
wanita. Sebuah sendra tari karya Farida ini terinspirasi atas anggapan
bahwa wanita dipandang rendah untuk melakukan hal yang luar biasa dan
Farida pun ingin menunjukkan bahwa mereka bisa sehingga mematahkan
anggapan sebelah mata selama ini.
Dengan properti seadanya,
diiringi gamelan besutan temannya yang ahli di bidangnya, tarian
berdurasi 15 menit seolah menjadi pertunjukan yang mewah. Waktu 15 menit
terasa sebentar, padahal latihanya membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Digambarkan awal tarian semua penari melakukan gerakan yang lemah
lembut, ada sebuah tabir dari kertas minyak dibaliknya ada seorang
penari utama yaitu Farida. Tabir dari kertas tersebut sebagai
penggambaran sekat atau gap yang membelenggu wanita sehingga itu harus
di jebol. Pada klimaksnya bayangan atau siluet tarian dibalik
tabir-tiba muncul dengan menjebol tabir kertas tersebut. Saat itulah
musik gamelan menghentak keras dan tarian yang semula dibawakan dengan
lemah gemulai tiba-tiba berubah menjadi tarian yang tegas rancak.
Inilah penggambaran wanita yang selama ini tidak bisa bergerak dalam
sebuah tabir kehidupan, hanya meliuk-liuk dalam ruangan terbatas, kini
akhirnya merdeka dan berkarya dengan penuh semangat dan tidak bisa hanya
dipandang sebelah mata.
BIKIN FILM DAN MENDIRIKAN POHONG CINEMA
Tidak puas dengan hanya berkarya seperti itu, Farida juga mulai
aktif di beberapa bidang seni lain. “Awalnya saya bergabung dengan HFL
(House Film Lumajang) memproduksi film dengan judul Cinta Diatas
Syahadat, namun film ini kurang berhasil,” ujarnya.
Di film
ini Farida menjadi manager dan turut serta menjadi pemain. Ini bermula
ketika ada seorang pemuda asal desa Penanggal yang lama di Jakarta,
pemuda tersebut sering terlibat didalam pembuatan sinetron TV sehingga
mengaplikasikan pengalamannya dengan mengajak warga Lumajang termasuk
Farida untuk memproduksi film tersebut.
Dari pengalaman pertama
membuat film ini, Farida kemudian tergerak untuk memproduksi sendiri
sebuah film. “Saya berempat bersama teman lain, ada Jos, mas Hay, mas
Arif membuat Pohong Cinema,” ungkapnya.
Pemberian nama Pohong
Cinema itu sendiri atas usul Farida yang mengaku suka memaksakan diri.
“Sebenarnya ada beberapa usulan nama. Memang ada yang tidak setuju
karena nama pohong tidak keren, tapi saya paksakan usulan nama itu
karena filosofinya bagus,” ujarnya.
Pohong dalam bahasa
Indonesia adalah ketela pohon oleh Farida dinilai memiliki banyak
manfaat mulai dari daun hingga akarnya, yang bisa dibuat berbagai macam
makanan dengan nama-nama yang berbeda. “Maka saya ingin Pohong Cinema
bisa seperti itu, bisa bermanfaat dan berkarya dengan berbagai hal,”
ujarnya.
FILM PAGEBLUK
Pohong Cinema kemudian
memproduksi sebuah film pertamnya dengan judul ‘Pagebluk’ yang digarap
selama 8 bulan. “Saya bisa totalitas karena memiliki banyak waktu. Anak
sudah besar sehingga pulang kerja langsung mengerjakan film hingga jam 1
malam,” ujar Farida.
Produksi film Pagebluk ini dengan
peralatan seadanya dan dengan biaya sendiri. “Kami lupa habis berapa,
yang jelas kami urunan membuat film ini,” ungkapnya.
Film
pertama Pohong Cinema menurut Farida cukup berhasil karena film ini bisa
diputar di beberpa sekolahan bekerjasama dengan lembaga pendidikan.
“Kami hanya ingin menunjukkan dan memberi motivasi kepada pelajar di
Lumajang bahwa kalian juga bisa berkarya. Lumajang bisa membuat film,”
terangnya.
Film Pagebluk sendiri menceriterakan sebuah kisah
misteri dimana setiap rumah yang didatangi dan pintu rumahnya diketuk
Pagebluk, keesokan harinya pasti ada yang meninggal. Arti sebenarnya
dalam bahasa Indonesia pagebluk adalah wabah, namun di wilayah Sumber
Mujur dan Pronojiwo punya keyakinan ada makhluk yang bernama pagebluk
tersebut dan dalam film ini pemeran pagebluk adalah Farida sendiri.
“Biar tidak membayar pemain lagi. Saat itu teman-teman yang main film
meskipun tidak dibayar bangga karena bisa menjadi artis,” selorohnya.
Film kedua produksi Pohong Cenema berjudul ‘Celah Yang Tersisa’.
Film ini menceriterakan tentang seorang ibu yang menyamar sebagai bandar
narkoba karena mencari anaknya yang telah lama hilang karena menjadi
korban narkoba.
Sejak Pikada lalu, crew Pohong Cinema telah
memiliki aktivitas politik masing-masing sehingga Farida memilih vakum
karena tidak ingin masuk di dunia politik. “Sebenarnya setelah Pilbup
ada keinginan untuk kembali bersama, namun ternyata masing-masing punya
kesibukan lain dan saya sendiri kemudian bertemu dengan teman yang
memiliki keinginan yang sama dan mendirikan komunitas baru,” ujarnya.
MENDIRIKAN GATRA
Hengkang dari dunia perfilman yang hanya sesaat itu, Farida
kembali menemukan dunia seni baru yang dianggapnya memiliki keinginan
yang sama, yakni dunia sastra. Pada tanggal 8 Oktober 2017 bersama
teman-temannya ia membentuk sanggar seni dan sastra Gatra.
Terbentuknya Gatra berawal dari pertemuan yang tidak disengaja. Saat itu
ada event lounching buku antologi puisi Rujak’an karya penyair Lumajang
Kartini Ayu, yang digelar di Hall Radio Semeru FM.
Untuk
memeriahkan acara ini, Presiden Komisaris Semeru FM Saiful Anam
mengundang beberapa pegiat seni dan sastra untuk tampil, antara lain
Silvi Asna, Farida Susanti, dan Diah Mahmawati.
“Saat itu saya
diminta Pak Saiful Anam untuk mengisi pembacaan puisi dan kebetulan ada
pengisi lain yaitu teatrikal puisi oleh mbak Diah Mahmawati,” ujarnya.
Saat bertemu di event tersebut, kemudian terjadi perbincangan yang
intinya Farida dan seorang bernama Diah tersebut sepakat untuk
membentuk wadah bagi para penyair Lumajang dan juga peminatnya. Mereka
kemudian mengundang teman-teman lainnya.
“Saat itu ada mbak
Diah, saya sendiri, pak Hamim, Huda, mbak Balia, Kurniawan, mas Hadi
Wasito, bu Purwaning dan mbak Ayu Kartini,” ungkap Farida yang
menyebutkan 9 orang yang mengawali terbentuknya Gatra singkatan dari
Graha Sastra Lumajang. Diharapkan dengan nama ini semua pihak baik itu
penulis maupun peminat sastra bisa terwadahi.
Gatra kini
memasuki tahun ke 3, dan dalam perkembangannya Gatra tidak hanya
bergerak di bidang penulisan sastra namun juga di bidang seni
pertunjukkan. Dari 9 orang pendiri yang tergabung dalam Gatra, kini
tinggal 6 orang saja, yang tiga orang mengundurkan diri karena
kesibukannya. “Mbak Diah harus konsesntrasi di kuliahnya mengejar S3,”
ujarnya.
Dalam Gatra sendiri ada kelompok yang diberi nama
keluarga Gatra yang berisikan para peminat dan pendukung kegiatan Gatra,
kelompok satunya diberi nama Penaku Bicara yang terdiri dari
insan-insan penulis yang anggotanya ratusan orang. Saat ini anggota
Penaku Bicara masih tergabung dalam kelompok WhatsApp.
Mereka
akan berkumpul dan bertemu saat karya mereka kami bukukan dan
dilaunching bersama pada acara Pendak Telu Gatra. Istilah ulang Gatra
ditandai dengan istilah pendak, pendak siji (ultah pertama), pendak
pindo (Ulang tahun kedua) sudah terlaksana. “Oktober depan merupakan
pendak telu,” ujarnya.
Di bidang sastra, Farida telah
melahirkan beberapa buku, ada 4 buku antologi puisi bersama penyair
lainnya, 2 buah antologi puisi sendiri dan yang akan datang juga akan
ada 3 buku lagi yang akan dilaucnhing bersamaan dengan ulang tahun
(pendak telu ) Gatra yakni 8 Oktober 2020.
GATRA MEMPERTEMUKAN CINTA KEDUA
Di komunitas sastra inilah banyak hal yang merubah Farida. Merubah
pandangan tentang dirinya sendiri, lingkungan, kepribadiannya.
“Termasuk cinta ya,” goda Fery Sinaro yang disambut senyum Farida. “Ya
termasuk cinta,” ujarnya tersipu malu. “Ojo ngunu mas Roni aku isinan
lho,” ujar Farida merespons kameramen Live FB Semeru Rony Bachelor yang
saat itu ikut tertawa.
Fery Sinaro kemudian menjelaskan kepada
pendengar Radio Semeru FM bahwa Farida ini bertemu dengan seorang yang
spesial di Gatra dan kebetulan yang bersangkutan juga salah satu pendiri
Gatra. “Beliau kebetulan teman saya di sebuah komunitas dan orangnya
luar biasa kok,” ujar Fery Sinaro. “Orang unik yang pernah saya kenal,”
sahut Farida.
Ketika ditanya apakah ketertarikanya karena
keunikannya, Farida mengakuinya bahkan baginya orang specsal tersebut
adalah sosok yang pemberani, punya prinsip dan jika ada kemauan selalu
diperjuangkan hingga berhasil. “Termasuk saya ini adalah yang
diperjuangkannya,” ujar Farida.
Awal mula bertemu dengan orang
spesial yang kemudian jadi suaminya yang kedua, yaitu Huda Al Pati,
Farida mengaku ragu karena sosok tersebut usianya jauh di bawahnya.
“Seusia dengan putri saya yang pertama, dan saya belum menemukan hal
jelas pada dirinya saat itu,” ungkap Farida.
Sebenarnya Farida
dengan sosok suami yang dimaksud dari saat kenalan cuma membutuhkan
waktu 3 bulan untuk menuju ke pernikahan pada tahun 2018 lalu. Namun
selama satu tahun Farida mengaku tidak tahu tujuan suaminya itu seolah
menjadi sebuah misteri. “Seniman kan sak karepe dewe mas,” ujarnya.
Ungkpan Farida ini sempat ‘menyinggung’ Fery Sinaro yang notabene-nya
juga seorang seniman (lukis). “Aduh cek tegese ngomonge,” komentar Fery
sambil terbahak.
Setelah selama satu tahun tidak paham dengan
tujuan hidup suaminya tersebut Farida merasa hampir putus asa, namun di
tahun kedua Farida mengaku mulai paham suaminya tersebut. “Oh ini maunya
dan saya merasa kagum kepada beliau,” ungkap Farida tanpa menyebut apa
yang ditemukan pada diri suaminya dan apa yang membuat dirinya kagum.
KOMUNITAS RELAWAN SERANGGA
Di era pandemi Covid-19, Bupati Lumajang telah mencanangkan program Ngeramut Tonggo, yakni upaya membantu tetangga yang kurang mampu yang terdampak langsung pandemi Covid-19 tersebut. Bupati Lumajang Cak Thoriq waktu itu mengundang semua komunitas di Lumajang untuk berkumpul bergerak bersama menyukseskan program tersebut.
“Saya diundang kapasitasnya sebagai anggota Gatra dan komunitas 247,” ujarnya. Komunits 247 adalah bentukan dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Lumajang. Komunitas Lumajang 247 ini artinya adalah Lumajang siap selama 24 jam 7 hari dalam membantu penanggulangan kebencanaan.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, BPBD Lumajang telah memutuskan untuk membentuk relawan yang kemudian menunjuk Farida untuk menjadi koordinatornya.
Seperti biasa, Farida selalu all out dalam menjalankan amanah dan tugasnya sehingga kemudian ia membentuk koordinator relawan di setiap kecamatan. “Selanjutnya Relawan Serangga ini tidak hanya menjadi penyalur bantuan kepada terdampak corona namun juga akan terlibat di berbagai hal yang sifatnya sosial kemanusiaan,” ujar Farida.
“Memang benar-benar gak bisa diam pean itu mbak,” ujar Fery setelah banyak menggali berbagai kegiatan yang dilakukan Farida. Farida mengatakan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah untuk berbagi dengan yang lain.
“Seperti di puisi saya (sebelumnya talkshow di jeda dengan pembacaan puisi karya Farida dengan judul Aku), saya tidak ingin menunjukkan laut itu luas, bukan ingin menunjukkan gunung itu tegar, bukan menunjukan awan itu tinggi, tidak untuk menunjukkan siapa saya, bagaimana kehebatan saya.” katanya.
“Tapi saya ingin membuat teman-teman terinspirasi bahwa apabila kita melakukan suatu hal kebaikan dalam bentuk apapun, berupa apapun jangan pernah ragu, tetap lakukan karena semua yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia. Berbuatlah, bergeraklah jangan diam, buatlah hidup kita, usia kita bermakna untuk orang lain” sambungnya.
Di penghujung acara talkshow, Farida menyampaikan sebuah statemen untuk semua. “Manfaatkanlah apa yang kita bisa dengan suatu kebaikan, supaya saat energi kita habis untuk melakukan kebaikan-kebaikan, maka segala sesuatu yang buruk pada diri kita, pikiran kita, perkataan kita dan perbuatan kita tidak akan tampil,” tukasnya.
Farida juga menyinggung soal kebiasan menulis status di media sosial yang menurutnya sebaiknya diisi dengan kata-kata atau kalimat kebaikan. “Please, apapun yang kita tulis jangan sampai menyakiti orang lain, tebarkanlah aura kebaikan,” pungkasnya.
Farida ternyata juga pernah menulis sebuah lagu yang berjudul ‘Saatnya Kembali’. Lagu pertaamanya ini telah di tayangkan di YouTube chanelnya Farida Al Pati. Sebagai penutup acara talkshow Bincang-Bincang Santuy ini Farida didaulat untuk melantunkan lagu keduanya berjudul Dapak Ndak Iyoa dengan diiringi musik karaoke atau minus one. (TEGUH EKAJA)
0 Komentar