Stabilitas sosial, politik dengan ekonomi Itu hubungannya harus harmonis dan sejalan, karena syarat untuk bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah stabilitas, terutama stabilitas politik dan stabilitas sosial. Dua hal ini apabila tidak stabil, maka tentu saja kondisi perekonomian akan terpengaruh.
Hal ini diungkap Agus Setiawan, pengamat ekonomi yang juga merupakan seorang pengusaha asal Lumajang, saat menjadi narasumber dalam acara talkshow di Radio Semeru FM dalam program Ngopi Pagi yang dipandu Ferry Sinaro, Sabtu (17/10) pagi. Tema yang diusung adalah Korelasi Stabilitas Sosial Politik dengan Pertumbuhan Ekonomi.
POLITIK TIDAK STABIL, INVESTOR AKANLARI
Setiawan mengungkapkan bahwa di beberapa negara yang mengalami guncangan politik sekian lama, pertumbuhan ekonominya terpuruk. Ia mencontohkan stabilitas politik di kawasan Timur Tengah yang terguncang dan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonominya.
Hal serupa terjadi pada politik di Hong Kong yang dalam waktu beberapa bulan dihajar dengan aksi demo menolak undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah Cina. Hong Kong yang kembali ke Cina sudah benar-benar dikontrol oleh Cina.
Aksi demonstrasi yang dilakukan warga Hong Kong tersebut sangat berpengaruh kepada perekonomiannya. Investor banyak yang lari. Mereka mencari lokasi lain yang lebih aman, lebih stabil, dan bisa mendatangkan banyak keuntungan bagi bisnisnya.
Setiawan menegaskan, kalau Indonesia stabilitas sosial dan stabilitas politiknya tidak bisa dijaga, maka perekonomian pasti terpengaruh. Contohnya saat aksi demo menolak Omnibus Law, kalau ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan selalu berakhir dengan kerusuhan, maka menurut Setiawan lambat laun Indonesia akan ditinggalkan oleh investor.
Investor akan merasa tidak aman dan mereka takut demonstrasi ini berubah menjadi krisis politik, krisis sosial, dan krisis ekonomi. Ketika terjadi guncangan politik dan mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan, maka mereka lebih baik memilih hengkang dari Indonesia dan mencari tempat yang lebih aman. Jika ini terjadi dikhawatirkan pengangguran bertambah dan kemiskinan pasti meningkat. Indonesia akan jatuh ke jurang krisis multidimensi.
Saat ini menurut Setiawan sedang ada trade war (perang dagang) antara Cina dengan Amerika. Eropa juga sedang menuju ke jurang resesi, maka sekarang politik dunia sedang dalam posisi yang tidak stabil dan belum ada kepastian kapan selesianya.
Situasi yang penuh ketidakpastian itu menakutkan para investor global, sehingga mereka sekarang mencari negara yang stabil. Dikabarkan bahw investor global saat ini banyak yang melirik ke Vietnam, Cina, Philippine, Thailand yang dianggap pemerintahnya cenderung lebih stabil dan mampu menjaga.
“Negara-negara ini lebih stabil sehingga investor masuk ke sana. Ketika Vietnam 2 tahun lalu melakukan perubahan undang-undang melalui Omnibus Law, maka sekarang investasi di Vietnam luar biasa dan sangat menarik. Saat semua negara kini sedang mengalami resesi atau mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, Vietnam malah tetap tumbuh positif,” ungkap Setiawan.
Ketidakpastian global ini menurut Setiawan tentu harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana caranya mendeliver kebijakan-kebijakan hingga ke tingkat daerah seperti ke Kabupaten Lumajang. Jika ketidakpastian global tersebut terus-menerus terjadi, maka akan berpengaruh kepada kabupaten-kabupaten di Indonesia seperti di Lumajang.
Lumajang adalah salah satu kabupaten yang cukup banyak menghasilkan produk ekspor, seperti kayu dan beberapa macam hasil bumi. Ketidakpastian global saat ini tentu harus segera diantisipasi, karena kalau tidak diantisipasi, maka akan banyak pabrik atau investor yang mengalami kerugian dan bisa dipastikan perekonomian Lumajang juga terimbas.
Ketidakpastian ini juga harus dihitung betul di tingkat nasional. Asumsinya bagaimana itu dimasukkan ke perhitungan di APBN. Jika tidak diantisipasi maka ketika terjadi konflik di negara lain yang berpengaruh Indonesia, maka pemerintah pusat akan kesulitan.
Setiawan mencontohkan produk batubara yang sejak 2008 itu sudah mulai naik. Harga komoditasnya sangat tinggi. Termasuk kelapa sawit dan beberapa hasil tambang dari Indonesia telah menjadi primadona sehingga pertumbuhan ekonomi sempat di atas 6%.
Namun kemudian sejak tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sampai ke 5%. Penurunan pertubuhan ekonomi ini karena harga komoditas seperti batubara dan kelapa sawit mengalami guncangan, sehingga banyak perusahaan batubara yang mengalami kebangkrutan, banyak pabrik kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) dan Kernel yang juga mengalami kebangkrutan.
Ini berpengaruh sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia terjun bebas dari 6% sekian. Sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode kedua itu sudah mulai turun hingga ke 5%, sampai dengan sekarang pemerintah masih berusaha menjaga pertumbuhan ekonomi agar stabil tidak sampai di bawah 5% .
Penurunan harga komoditas ekspor tersebut ujar Setiawan berpengaruh besar sterhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, hal ini juga harus diantisipasi dalam ruang fiskal APBN. Jika tidak diantisipasi, maka ketika terjadi kontraksi kita akan mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan.
Soal perekonomian di Indonesia juga tidak lepas dari kebijakan masing-masing negara termasuk di bidang perdagangan. Masing-masing negara menurut Setaiwan telah saling berebut pengaruh, contohnya di Word Trade Organisation (WTO).
Di organisasi internasional yang mengatur perdagangan antar negara ini, Indonesia beberapa kali terlibat persengketaan dengan negara lain dan kalah. Kebijakan masing-masing negara ini tidak bisa diantisipasi, tapi kemudian pemerintah Indonesia mencoba mengantisipasinya dengan memperkuat hubungan bilateral.
Beberapa waktu lalu pemerintah kita bersepakat dengan beberapa negara untuk melakukan perdagangan menggunakan mata uang sendiri, tidak lagi menggunakan dolar Amerika, seperti dengan beberapa negara ASEAN. Indonesia sekarang sudah tidak menggunakan dolar supaya mengurangi ketergantungan dengan nilai dolar.
Dengan kebijakan ini, meskipun index dolarnya turun naik, maka tidak terlalu berpengaruh ke rupiah. Meskipun di bursa saham naik namun di lapangan tidak berpengaruh. Selain itu Indonesia juga melakukan kebijakan bahwa transaksi di pabean di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menggunakan mata uang IDR atau mata uang Rupiah. Ini juga untuk mengurangi ketergantungan akan mata uang dolar.
“Contohnya beberapa tahun lalu sekitar tahun 2012-2014 kalau nggak salah, Amerika melakukan kebijakan politik kuantitif earning di mana mereka melakukan kebijakan memberikan imbal balik terhadap simpanan dolar di dalam negeri cukup tinggi, sehingga menarik investor yang selama ini menyimpan dolarnya di luar negeri. Akibatnya banyak yang menarik uangnya dari Indonesia sehingga tidak ada angin tidak ada hujan nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi Rp.15.000 – Rp.16.000,” terang Setiawan.
Setiawan mengaku beruntung Indonesia punya Sri Mulyani, Menteri Keuangan berpengalaman luar biasa yang menjaga APBN sehingga bisa mengantisipasi hal-hal seperti itu. Alhasil dibandingkan dengan negara lain Indonesia jauh lebih baik.
“Ini diakui oleh negara-negara lain, hanya saja tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui, sehingga mereka merasa Indonesia rusak atau bobrok. Padahal jika kondisi sekarang dibandingkan dengan negara-negara yang lain Indonesia jauh lebih baik,” ujarnya.
KRITIK HARUS OBYEKTIF, HINDARI PROVOKASI NEGATIF
Diakui oleh Setiawan bahwa ada kecenderungan di Indonesia kalau lawan politik melihat lawan politiknya sedang berkuasa, bagaimana caranya jangan sampai terjadi stabilitas bahkan ada yang berpedoman pokoknya pemerintah salah.
“Seharusnya kritik itu objektif. Kalau bagus ya kita apresiasi, tapi kalau jelek ya kita kritisi, itu baru namanya kritik obyektif. Tapi ini tidak demikian, " kata Setiawan. Contoh paling baru adalah sejak awal tahun itu hoak disebarkan bahwa di Omnibus Law nanti tidak boleh cuti, tidak boleh cuti haid, tidak mendapatkan pesangon, PHK sepihak, kemudian tidak ada UMP, UMK, Amdal dihilangkan. "Isu-isu ini menyebabkan masyarakat bergejolak dan sayangnya ini didukung oleh sejumlah aktivis yang seharusnya mereka lebih terdidik. Mereka dengan seenaknya menulis di facebook atau twittera bahwa Amdal akan hilang karena ada Omnibus Law dan lain-lain,” jelentreh Setiawan.
Tingkat literasi bangsa Indonesia diakui memang masih sangat rendah. Dengan berbekal informasi yang didapat dari konten-konten yang tidak bertanggung jawab, mereka tidak mau mendengarkan pertimbangan pemerintah sehingga dalam pikiran mereka Omnibus Law adalah negatif dan terprovokasi. Akibatnya, mereka melakukan aksi demo anarkis.
“Di dalam Omnibus Law memang ada pasal-pasal yang harus dikritisi, namun itu bisa dikawal selanjutnya di pembentukan peraturan pelaksana undang undang tersebut,” ujar Setiawan.
Sebenarnya menurut Setiawan ketika dinilai secara objektif, Omnibus Law banyak baiknya dibanding yang buruk. Selama ini yang dianggap buruk, ketika mereka mau mendengar penjelasan dan niat pemerintah mereka mengakui bahwa omnibus Law baik.
Setiawan yang juga menjabat sebagai Ketua MPC Pemuda Pancasila Kabupaten Lumajang itu menegaskan bahwa kritik adalah sesuatu yang baik demi perbaikan dan pembangunan. Namun jika kritik berubah menjadi anarki itu yang menurut Setiawan berbahaya dan harus ditindak. Setiawan mengatakam bahwa Indonesia sekitar tahun 97/ 98 mengalami kerusuhan yang tidak bisa terbendung dan dikahawatirkan peristiwa serupa kembali terjadi.
“Makanya kepolisian memang harus tegas. Kalau kritik sudah berubah menjadi anarkis, maka harus ditangkap. Ini sudah kriminal dan belum tentu jumlah masyarakat yang menolak Omnibus Law itu lebih banyak daripada yang menerima. Bukannya kemarin ada survei yang dipandu oleh salah satu profesor yang terkenal sangat objektif bahwa mayoritas lebih banyak yang mendukung. Karena itu jangan juga dipaksa orang harus mengikuti para demonstran,” ungkap Setiawan.
Harusnya kaum terpelajar bisa mengedukasi kelompoknya dengan baik. Mereka juga bisa mempelajari Omnibus Law dan mencari kelemahan-kelemahannya agar bisa dilakukan judicial review. Atau juga bisa dikawal pembentukan peraturan pelaksanaannya seperti Perpres, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, peraturan Dirjen agar pelaksanaannya tidak melenceng.(TEGUH EKAJA).
0 Komentar